Perbandingan Komunikasi Politik Presiden Indonesia
1. Soekarno
presiden pertama kita ini tampak sebagai sosok yang memiliki ilmu yang dalam, piawai menganalisis situasi politik, matang dalam berpolitik, dan berani menghadapi tantangan dan tegas. Namun, ”Singa Podium” ini tak ubahnya seperti manusia biasa yang punya amarah dan salah. Dalam kemarahannya, ia sering menggebrak meja, menggedor kiri-kanan, menghardik sasaran dengan suara yang keras, menantang, memperingatkan dan mengancam. Semua itu sering disampaikannya dalam bahasa, meminjam istilah Edward T. Hall (1976), yang low context; jelas, tegas, dan tanpa tedeng aling-aling. Selain itu, ia sering menggunakan bahasa yang mengulang-ulang
2. Soeharto
Soeharto yang lebih banyak mendengar dan mesem (senyum). Dalam berkata, ia sering menggunakan bahasa yang high context; tidak jelas, penuh kepura-puraan (impression management), teka-teki, rahasia, dan amat santun serta multi tafsir. Tidak jarang para menteri perlu merenungkan atau menanyakan kepada orang lain tentang arti dari komunikasi presiden terhadap mereka. Bagi yang tidak memahami komunikasi tingkat tinggi ini, perlu siap-siap menuai ‘gebukan’ atau perlawanan rakyat dan lingkungan sekitar. Semisal, kasus penyerbuan massa PDI Soerjadi terhadap Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996. Dalam kasus ini, Sutiyoso yang dianggap bertanggung jawab waktu itu, berdalih bahwa peristiwa itu berasal dari perintah ”atasan”. Sementara, Feisal Tandjung mengatakan bahwa Soeharto tidak pernah memerintahkan penyerbuan. Uniknya, dalam kondisi marah atau tidak suka pun, ”The Smiling General ” ini menggunakan bahasa high context pula. Semisal, ketika ada menteri yang laporan atau dipanggil diruang kerja presiden telah dipersilahkan meminum minuman yang tersedia, berarti diperintahkan segera untuk pamit. Meski begitu, Soeharto juga pernah menggunakan bahasa low context.
3. B.J. Habibie
B.J. Habibie pernah marah. ia tampak menggunakan bahasa low context. Ketika marah, ia sering melototkan mata kepada yang dimarahi, raut muka memerah dan suara keras. Ia juga dikenal sebagai sosok yang temperamental. Meski cerdas, ia cepat emosi dan cepat marah, terlebih ketika ditantang, dikritik, dan didebat. ”Anehnya, tidak ada satupun menteri yang takut” (menurut informan Hendropriyono hlm.159).
4. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) marah, kadang menggebrak meja dan atau mengancam. Meski begitu, Gus Dur tidak lepas dari sifat gampang tidur dan humorisnya. Sering dalam setiap sidang kabinet yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB, Gus Dur melakukan ritual tidur. Ketika salah atau mendapat konfirmasi dari orang yang merasa dirugikan, Gus Dur sering menanggapinya dengan santai. ”Oh, begitu, ya? Ya, Sudah. Enggak usah dipikirin…!”, jawabnya (hlm.199).
5. Megawati
Megawati setiap marah suka menghardik korbannya. Semisal, ketika Megawati sedang menghadiri acara dengan sejumlah kerabatnya di restoran sebuah hotel mewah di Singapura. Dalam acara itu, Roy B.B. Janis dihardik habis-habisan di depan umum akibat kedatangannya tidak diundang (hlm.283). Selain itu, ia juga terkenal pendendam. SBY merupakan salah satu contoh yang menjadi korban sifat pendendam itu. Dalam debat calon presiden 2004, misalnya, gara-gara menaruh dendam dengan SBY, Megawati mengajukan syarat kepada penyelenggara acara untuk menghapus acara jabat tangan antar calon. Dalam pelantikan Presiden SBY pun, Megawati tidak mau menghadirinya. Dalam berkomunikasi, menurut penulis, Megawati tidak bisa efektif. Ia lebih suka diam atau menebar senyum dari pada berbicara. Selama berpidato, suaranya tampak datar, nyaris tidak ada body language sama sekali. Ia membaca kata per kata secara kaku, seolah takut sekali pandangannya lepas dari teks pidato di depannya (hlm.247). Ironisnya, dalam setiap pembicaraan dengan orang-orang dekatnya lebih banyak membicarakan shopping dari pada soal-soal yang berkaitan dengan bangsa dan negara. Dalam menghadapi kritik, ia sering tidak tahan, alergi kritik (hlm.265).
6. Susilo Bambang Yudoyono.
SBY Meski tidak jarang menuai kritik, SBY tampak merasa gerah pula. Bahkan, SBY sering balas mengkritik bagi orang atau pihak yang berani mengkritiknya, termasuk kebijakan pemerintah. Namun, dalam setiap pembicaraannya, SBY tergolong cukup hati-hati. Seolah-olah setiap kata yang keluar dari bibirnya diartikulasikan secara cermat. Dalam perspektif komunikasi, SBY tergolong dalam lower high context. Ia gemar menggunakan analogi dalam menggambarkan suatu masalah dan tidak bicara secara to the point. Hanya hakikat suatu permasalahanlah yang sering disampaikannya. Dalam berbagai kesempatan, SBY seperti sengaja tidak mau memperlihatkan sikapnya yang tenang, tetapi membiarkan publik menebak-nebak sendiri.
Komunikasi Politik Era Orde Baru
- Fase pertama, 1965-1974 ditandai dengan atmosfir terbuka, kompetitif dan partisipasi rakyat yang tinggi. Bahkan ekspresi politik masyarakat pun relatif bebas. Di sinilah bulan madu komunikasi politik di Indonesia terjadi. Rakyat dengan bebas mengkritik pemerintahan lama, Orde Lama, karena kegagalannya membendung komunis dan merebaknya kemiskinan. Masa awal ini mirip seperti terjadi di era reformasi saat ini dimana ekspresi itu tertuang dalam media massa dan pembentukan partai politik yang jumlahnya saat ini lebih dari 50 partai.
- Periode kedua 1974-1983 dimulainya pengawasan terhadap komunikasi politik dimana aktivitas politik, pers dan pernyataan masyarakat mulai dibatasi.
- Periode ketiga 1983-1990, kontrol sosial sangat ketat yang harus disesuaikan dengan ideologi yang dikukuhkan lewat P4 dan asas tunggal.
- Periode keempat 1990-1998, monopoli politik yang sudah sedemikian ketatnya berangsur-angsur mendapat perlawanan sehingga akibat gelombang demokratisasi di dunia lahirlah apa yang disebut keterbukaan. Monopoli komunikasi tidak lagi dipegang negara tapi mulai diimbangi bahkan dirongrong oleh kelompok kepentingan seperti LSM dan kalangan kampus. Puncak perubahan dalam komunikasi politik itu terjadi manakala demonstrasi pro reformasi mulai merebak awal tahun dan berpuncak pada pengunduran diri Pak Harto 21 Mei 1998.
Komunikasi Politik Orde Reformasi
- Terbukanya keran keterbukaan akibat reformasi mendorong kelahiran era baru dalam mengekspresikan pendapatnya. Jika pada masa Orde Baru pengekangan itu sedemikian ketat, maka Orde Reformasi ini masyarakat menikmati bulan madu kebebasan berkumpul dan pendapat.
- Salah satu fenomena yang terlihat adalah menjamurnya partai-partai berbasiskan Islam. Dengan berbagai atribut, slogan, pemimpin dan programnya mereka mulai mengenalkan diri ke hadapan umat. Meskipun sebagian terkesan sederhana dan sebagian lagi ingin terlihat advokasinya membela rakyat, namun kekuatan riil mereka akan teruji benar-benar dalam pesta demokrasi yang berlangsung sejak Mei 1999
0 comments:
Post a Comment