Dosen : Dr. Hadiono Afdjani, M.M, M.Si
Periklanan Politik
Periklanan Politik
Bolland (dalam McNair, 203) mendefinisikan
periklanan sebagai penempatan pesan-pesan terorganisir pada media dengan
membayar. Begitu juga periklanan politik, dalam pengertian yang sama, mengacu
kepada pembelian dan penggunaan tentang ruang periklanan (advertising space),
membayar untuk rating komersil, dalam rangka untuk mentransmisikan pesan-pesan
politik kepada suatu khalayak. Media yang digunakan meliputi bioskop,
billboards, pres, radio, dan televisi.
- untuk dikonsumsi oleh para partisipan politik. Namun iklan juga dirancang untuk membujuk. Dalam bujukan ini, iklan harus secara jernih/nyata menguntungkan politikus. Berkenaan dengan ini kendali kontrol editorial berada di tangan politikus (penerapan pada masing-masing sistem politik berbeda, ingat teorinya Sibert dkk.), bukan pada media.
- Produser periklanan politik mempunyai kebebasan untuk mengatakan apa yang mereka inginkan, bagaimana mereka memainkan/mensandiwarakan kekuatan klien mereka dan menyoroti kelemahan lawan.
Diamond dan Bates (dalam McNair,
2003) mengidentifikasikan empat fase dari tipe kampanye periklanan politik di
Amerika, yaitu:
1. Identitas kandidat, dalam fase ini
biografi positif dari kandidat harus harus dikemas sedemikian rupa untuk
menumbuhkan kesan yang bagus.
2. Kebijakan kandidat
3. Menyerang lawan, menggunakan hal
negatif.
4. Kandidat harus diberkahi dengan
pemaknaan positif dalam konteks aspirasi
dan nilai-nilai dari orang-orang yang mempunyai hak pilih.
Periklanan mempunyai dua
fungsi pada proses pertukaran di antara suatu produser ( barang, jasa, atau
program politik) dan konsumer, Yaitu:
1.
Pertama, periklanan
itu menginformasikan. Proses politik diharapkan melibatkan pilihan-pilihan
rasional oleh pemberi suara, yang harus didasarkan pada informasi. Sama halnya
dengan iklan produk, yang menginformasikan ketersediaan suatu merk, harganya,
kegunaannya. periklanan politik kontemporer dapat dilihat sebagai suatu
pengertian penting tentang menginformasikan penduduk berkenaan dengan siapa
yang berpengaruh (who is standing) dan kebijakan apa yang mereka
tawarkan.
2. Kedua, periklanan itu membujuk (persuasif). Pierre
Martineau (dalam McNair, 2003) menyatakan bahwa dalam suatu sistem yang
kompetitif, suatu produk harus dipelihara dengan berbagai teknik unggul; harus
dinvestasikan dengan nada tambahan (overtones) ke individu-individu
konsumen; harus diberkahi dengan kesempurnaan imajinasi dan asosiasi; harus mempunyai
banyak orang pada suatu level, jika kita mengharapkan produk itu mencapai
tingkat penjualan puncak, jika kita berharap produk itu mencapai penerimaan
emosional (seperti loyalitas merk)
oudrillard (dalam McNair,2003) meyakini bahwa
setiap produk mempunya tanda nilai (sign-value), berkenaan dengan
hirarkhi sosial, perbedaan masing-masing individu, perlakuan khusus terhadap
suatu kasta dan kultur mereka, ditemukannya keuntungan, kepuasan pribadi.
Komoditas hadir selain karena kegunaannya, juga memberikan penanda makna
tentang komoditas itu.
Meminjam pemikiran Antony Gidden
(2001), apapun wujud realitas sosial, politik, ekonomi, budaya merupakan
praksis sosial yang tak pernah terpisah antara dimensi ruang dan waktu,
pemimpin yang lahir dalam wujud demokrasi apa pun, tak akan lepas dari masa
lalu, kekinian, dan masa yang akan datang..
Demokrasi seyogianya menempatkan
rakyat sebagai subjek politik, bukan sasaran dari pemasaran politik dalam
konteks bisnis. Karena jika praksis politik terjebak pada ranah bisnis, maka
yang muncul kepermukaan adalah platform politik yang tak lagi mengindahkan
tanggung jawab sosial dan moral karena hakikat bisnis tak mengenal keduanya,
kecuali keuntungan semata yang teramat rasional
0 comments:
Post a Comment